Skeptisisme Mahasiswa Gerakan Era Digital

Ilustrasi
Kita tak dapat mengetahui dengan pasti mengenai segala sesuatu di dunia, di sekitar kita, atau bahkan mengenai diri kita sendiri. Terlebih lagi di era digital dewasa ini, arus penyebaran informasi yang tidak terbendung derasnya. Fenomena ini berbanding terbalik dengan proses filter kita pada informasi yang masuk. Mereka yang skeptis memberikan penjelasan bahwa kita tidak perlu cemas mengenai sesuatu yang tak kita ketahui. Sebaliknya, kita harus tenang dan membiarkannya.

Berbicara mengenai skeptisisme, sikap skeptis sangat penting, sikap untuk tidak dengan mudahnya menelan pendapat orang lain begitu saja, untuk tidak cepat puas dengan jawaban yang dihasilkan, melainkan berusaha untuk mencari pendapat dari berbagai sudut pandang dan kemudian menyimpulkannya sendiri. Sebagai seorang mahasiswa, kita punya andil besar dalam menghadapi fenomena tidak terbendungnya arus informasi di era digital dewasa ini.

Bisa kita gambarkan bahwasannya mahasiswa sebagai generasi millenial atau bisa dikatakan 'melek' teknologi, tentunya punya peran penting dalam proses mengawal nilai serta melakukan kontrol sosial dalam hal ini yaitu proses derasnya arus informasi yang belum tentu kebenarannya. 

Dari hal-hal kecil bisa kita mulai dari pribadi kita masing-masing. Bijak dalam menggunakan media sosial misalnya. Tidak dapat dimunafikkan bahwa media sosial kini menjadi media paling aktual dalam proses penyebaran informasi.

Sikap kritis dalam menerima, terlebih lagi dalam menyebarkan suatu konten perlu kiranya kita soroti. Sebelum mempercayai suatu informasi, kiranya lebih bijak apabila kita tidak menelan mentah-mentah informasi yabg kita dapatkan. Memilah dan memilih serta mempertanyakan kebenaran informasi tersebut wajib hukumnya, sebelum kita mempercayainya, atau bahkan ikut menyebar luaskan informasi tersebut.

"Great Intellects are Skeptical" Friedrich Nietzsche

Dijelaskan pula oleh filsufasal Austria, dia mengemukakan bahwa, manusia memiliki sistem kepribadian yang asli, dibawa sejak lahir. Dari kepribadian ini kemudian akan muncul ego dan super ego yang mewakili subjektivitas yang tidak pernah disadari sejak lahir. Tentunya pengaruh subjektivitas ini yang memengaruhi proses terciptanya kebenaran yang dianggap sebagai kebenaran universal absolut.

Karena kebenaran tidak lagi berdasar pada objektivitas, melainkan menitik beratkan pada subjektivitas seseorang yang mengatakan hal yang dianggap kebenaran itu. Satu kebohongan akan tetap menjadi kebohongan, tapi seribu kebohongan yang diucapkan terus menerus akan menjadi kebenaran, begitu kiranya Joseph Gobbels dalam mempropagandakan apa yang dianggap kebenaran menurutnya.

Era digital kini, informasi datang bak banjir bandang tanpa bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, ketika informasi itu disampaikan beibu-ribu kali dimungkinkan dapat menjadi suatu kebenaran. Maka dari itu berfikir skeptis sangatlah perlu. Dengan berfikir skeptis, dalam menerima informasi kita tidak akan langsung mempercayainya secara mentah-mentah, akan muncul pertanyaan mengenai vailiditas, sumber, ataupun kebenaran dari informasi tersebut.

Sudah menjadi perintah Tuhan dalam firmannya surat al-Baqarah ayat 170, bahwa dalam proses menemukan sebuah kebenaran manusia haruslah melakukan uji coba. Celakalah bagi suatu kaum yang secara mentah meyakini kebenaran yang diturunkan oleh orang-orang terdahulunya.

Jadi masihkah anda menyebarluaskan informasi yang belum tentu kebenarannya?
Gak takut kena azab? 

*Tulisan oleh Bung Bagus Wicaksono, Kader GMNI UIN Walisongo Semarang.

Komentar