Seorang filsuf dari Mazhab Frankfurt di tahun 1962, Jurgen Habermas familiar dengan konsepsi ruang publiknya, merujuk pada karya Siahaan tahun 2017, ruang publik (publik sphere) merupakan ruang yang diciptakan sebagai bentuk penyikapan otoritas publik. Secara sederhana dapat dipahami sebagai ruang yang digunakan masyarakat untuk saling bertemu sampai mendiskusikan berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Lebih lanjut, Habermas juga menyatakan bahwa ruang publik juga dipahami sebagai wilayah sosial yang bebas dimasuki setiap warga negara yang tentu terbebas dari dominasi atau atribut sosial apapun. Era digital seperti hari ini, konsep ruang publik turut mengalami perkembangan, dalam artian ia tidak hanya ada dalam bentuk fisik, melainkan juga tercipta di ruang maya (cyberspace).
Ruang publik yang terbentuk dalam dunia digital menyajikan kemudahan bagi masyarakat dalam berekspresi. Namun di sisi lain hal tersebut banyak menghadirkan disinformasi seperti dalam bentuk manipulated content atau konten yang dipalsukan maupun misleading content yaitu konten yang tidak dipalsukan namun digunakan pada konteks yang kurang tepat. Penggambaran hal itu bisa kita jumpai dari fenomena hoax yang belakangan ini sering kita temui, sebut saja kasus hoax Ratna Sarumpaet.
Berita bohong atau hoax yang masif di dunia digital merupakan sebuah kondisi bahwa fakta objektif tidak berpengaruh pada pandangan masyarakat dibandingkan dengan hal yang sifatnya emosional pribadi dan semu. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Jean Boudrillard dengan teori simulacra, realitas yang ada berwujud realitas semu dan hasil simulasi (hyper reality). Tentu, hal tersebut menjadi sebuah auto-kritik bagi kita sebagai kader GMNI dalam mewarnai dinamika yang terjadi dalam ruang-ruang digital.
Sebuah keharusan bagi GMNI sebagai organisasi perjuangan untuk dapat merebut ruang publik dari para golongan sofis yang sengaja melakukan kesalahan dalam berfikir dengan tujuan mengubah opini publik demi tercapainya tujuan tertentu diluar kebenaran maupun dari golongan paralogi yang melakukan kesalahan berfikir namun tidak menyadarinya dan menganggap pemikiran merekalah yang benar. Upaya merebut ruang publik bukan semata karena mencari eksistensi agar kehidupan organisasi diakui khalayak.
Terlebih lagi, kader GMNI yang memiliki orientasi berfikir diharapkan dapat menyajikan fakta objektif sehingga realita post-truth dan fenomena hoax yang menjamur di negeri ini dapat dihilangkan berikut akar-akarnya. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengimbangi realita post-truth tersebut bisa dengan menyajikan fakta ataupun data, bukan asumsi, memberikan sebuah Analisis Kausalitas, bukan klaim sepihak. Kemudia, dimungkinkan juga untuk melakukan suatu interpretasi, bukan pembenaran dan terakhir mampu menagkap sebuah kesimpulan dari berbagai kajian, bukan evaluasi yang hanya bermuara pada perilaku menghakimi yang justru memunculkan konflik baru.
Dengan melakukan beberapa hal di atas, diharapkan ruang publik yang bisa dimasuki dan dimanfaatkan oleh segala kalangan dapat menyajikan fakta objektif yang dapat mengikis disintegrasi guna menunjang kemajuan bangsa.
*Tulisan oleh Sarinah Wiwin dan Sarinah Ira, DPK Fisip Undip Semarang
Ruang publik dalam dunia maya tercipta dari kemajuan teknologi yang terjadi, masyarakat dapat mendiskusikan berbagai hal terkait kepentingan umum tanpa harus saling bertemu, yakni melalui fasilitas yang disediakan dunia digital.
Ruang publik yang terbentuk dalam dunia digital menyajikan kemudahan bagi masyarakat dalam berekspresi. Namun di sisi lain hal tersebut banyak menghadirkan disinformasi seperti dalam bentuk manipulated content atau konten yang dipalsukan maupun misleading content yaitu konten yang tidak dipalsukan namun digunakan pada konteks yang kurang tepat. Penggambaran hal itu bisa kita jumpai dari fenomena hoax yang belakangan ini sering kita temui, sebut saja kasus hoax Ratna Sarumpaet.
Berita bohong atau hoax yang masif di dunia digital merupakan sebuah kondisi bahwa fakta objektif tidak berpengaruh pada pandangan masyarakat dibandingkan dengan hal yang sifatnya emosional pribadi dan semu. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Jean Boudrillard dengan teori simulacra, realitas yang ada berwujud realitas semu dan hasil simulasi (hyper reality). Tentu, hal tersebut menjadi sebuah auto-kritik bagi kita sebagai kader GMNI dalam mewarnai dinamika yang terjadi dalam ruang-ruang digital.
GMNI sebagai organ perjuangan memiliki orientasi, nilai, dan azaz-azaz yang perlu diperjuangkan. Berkaca pada konteks zaman bahwa cyberspace menjadi wadah untuk menyebarluaskan suatu wacana, maka pertarungan dalam menciptakan “ruang publik” yang mengarah pada kepentingan umum yang sesuai dengan nilai GMNI menjadi suatu hal yang perlu dipertimbangkan kembali.
Sebuah keharusan bagi GMNI sebagai organisasi perjuangan untuk dapat merebut ruang publik dari para golongan sofis yang sengaja melakukan kesalahan dalam berfikir dengan tujuan mengubah opini publik demi tercapainya tujuan tertentu diluar kebenaran maupun dari golongan paralogi yang melakukan kesalahan berfikir namun tidak menyadarinya dan menganggap pemikiran merekalah yang benar. Upaya merebut ruang publik bukan semata karena mencari eksistensi agar kehidupan organisasi diakui khalayak.
Terlebih lagi, kader GMNI yang memiliki orientasi berfikir diharapkan dapat menyajikan fakta objektif sehingga realita post-truth dan fenomena hoax yang menjamur di negeri ini dapat dihilangkan berikut akar-akarnya. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengimbangi realita post-truth tersebut bisa dengan menyajikan fakta ataupun data, bukan asumsi, memberikan sebuah Analisis Kausalitas, bukan klaim sepihak. Kemudia, dimungkinkan juga untuk melakukan suatu interpretasi, bukan pembenaran dan terakhir mampu menagkap sebuah kesimpulan dari berbagai kajian, bukan evaluasi yang hanya bermuara pada perilaku menghakimi yang justru memunculkan konflik baru.
Dengan melakukan beberapa hal di atas, diharapkan ruang publik yang bisa dimasuki dan dimanfaatkan oleh segala kalangan dapat menyajikan fakta objektif yang dapat mengikis disintegrasi guna menunjang kemajuan bangsa.
*Tulisan oleh Sarinah Wiwin dan Sarinah Ira, DPK Fisip Undip Semarang
Komentar
Posting Komentar